Di tengah situasi seperti ini, keputusan untuk melakukan karantina total/lockdown sepertinya begitu menggoda.
Hanya saja, Presiden tidak ingin itu terjadi, walaupun sebagian kepala daerah memutuskan sepihak untuk menutup akses masuk dan keluar daerahnya. "Lebih baik saya dibenci warga daripada membiarkan mereka mati", demikian alasan walikota Tegal melalukan lockdown kotanya.
Pada kondisi ini, ekonomi sudah terlanjur pincang, walau tak sampai lumpuh. Usaha-usaha untuk melakukan rapid test tampaknya berhasil mengidentifikasi mereka yang terinfeksi, namun belum tentu dapat menekan penyebaran virus secara signifikan. Dan yang membuat jengkel, peneliti-peneliti di Inggris dan Amerika sana selalu saja mengomentari apa yang terjadi di Indonesia "Kasus Covid-19 bisa saja lebih banyak dari yang dilaporkan", "Satu juta penduduk berpotensi terinfeksi".
Katakanlah lockdown nasional dilakukan, atau setidaknya kebijakan lockdown diterapkan untuk provinsi yang telah memiliki kasus positif. Masyarakat dilarang keluar rumah. Tentunya hal ini harus dibayar dengan berhentinya roda perekonomian paling tidak untuk 2 minggu. Pekerja informal tidak mendapat penghasilan. Belum lagi potensi panic buying yang bisa memicu kericuhan. Namun diharapkan dapat menekan atau bahkan meniadakan penyebaran virus.
Tapi setelah itu, andaikata penyebaran virus bisa ditekan seminimal mungkin, ekonomi akan pulih lebih cepat. Anak-anak bisa kembali bersekolah, pedagang di pasar kembali berjualan, mall dan kedai kopi akan kembali buka demi menyambut pelanggan yang datang. Tidak terkatung-katung seperti sekarang. Keluar ragu, #DiRumahAja bosan. Begitulah yang dirasakan, setidaknya oleh segelintir orang.
#Update
Selasa, 24 Maret 2019. Perdana Menteri India, Narendra Modi, memutuskan untuk menerapkan lockdown di sepenjuru India selama 21 hari untuk mencegah penyebaran Covid-19. Hanya sehari setelah pengumuman itu dibuat, terjadi migrasi besar-besaran di negara dengan populasi 1,3 milyar penduduk itu. Para pekerja beserta keluarganya memutuskan untuk pulang kampung, setelah tidak ada lagi pekerjaan. Tanpa uang dan sarana transportasi, mereka berjalan kaki menuju kampung halaman dalam eksodus besar-besaran. Seseorang diantara mereka berkata,
"Kami takut penyakit itu menulari kami, tapi kami lebih takut kelaparan"
Karena itu mereka memutuskan untuk pulang, setelah tidak ada lagi penghasilan yang bisa di dapat di kota. Patut dicatat bahwa 90% dari total populasi India bekerja di sektor informal, dan negara belum pernah menghadapi situasi besar seperti saat ini. Kebijakan yang diambil Perdana Menteri Modi tanpa perencanaan matang mendatangkan kosenkuensi yang tak terpikirkan sebelumnya.
Negara-negara di Eropa dan China yang telah lebih dulu menerapkan lockdown tidak menghadapi situasi seperti yang terjadi di India karena kondisi demografi, sosial dan ekonomi yang amat berbeda.
Berkaca dari kasus India, sepertinya gagasan untuk menerapkan lockdown nasional perlu ditinjau ulang. India dan Indonesia memiliki kondisi yang hampir sama, sebagai negara berkembang yang padat penduduk dimana sebagian besar masyarakatanya bekerja di sektor informal.
Post a Comment