Kelahiran Listrik Swasta di Indonesia

Pada tahun 1990 an, pemerintah Indonesia menyetujui 27 Perjanjian Jual Beli Listrik (PPA: Power Purchase Agreement) dengan sejumlah investor luar negeri yang diantaranya berasal dari Amerika dan Hongkong.

Hal ini sekaligus menandainya berakhirnya kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia (World Bank) di sektor ketenagalistrikan yang sudah terjalin sejak tahun 1980 an. 

Pada kontrak PPA, pembangunan pembangkit listrik dibiayai sepenuhnya oleh investor. Umumnya, investor akan menyetor sejumlah modal, lalu bank akan menutupi sisa kebutuhan dana untuk membiayai proyek. Selanjutnya, Investor akan memiliki instalasi pembangkit dan menjual listrik yang dihasilkan kepada PLN dengan harga yang sudah ditetapkan sesuai perjanjian.

Perjanjian PPA Tanjung Jati B

Perjanjian PPA PLTU Tanjung Jati B ditandatangani tanggal 16 September 1994 antara PLN dengan CEPA (Consolidated Electric Power Asia). Proyek pembangunan PLTU berkapasitas 2 x 660 MW yang diperkirakan menelan biaya USD 1,8 Milyar tersebut direncanakan selesai tahun 1999.

PLTU Tanjung Jati B

Hopewell Holdings, Ltd, perusahaan yang berbasis di Hongkong milik pengusaha Gordon Wu, memegang 80% saham CEPA. CEPA adalah suatu group usaha dengan kepemilikan di beberapa proyek pembangkit listrik mulai dari China, Filipina hingga Pakistan, yang selanjutnya akan memiliki PLTU Tanjung Jati B.

Krisis Moneter Asia

Tahun 1996, pembangunan PLTU Tanjung Jati B telah berlangsung meski tanpa pendanaan yang jelas. Selain itu, ada indikasi bahwa proyek PLTU Tanjung Jati B berhasil didapatkan oleh Wu setelah berhasil mendekati  orang dekat penguasa saat itu.

Pada tahun yang sama, CEPA mulai mengalami kesulitan keuangan. Perusahaan kewalahan dengan sejumlah proyek yang tidak bisa ditanganinya. 

Seorang pejabat Indonesia mengomentari hal ini dengan mengatakan bahwa CEPA berharap menjadi McDonald di sektor kelistrikan. Jelas bahwa, pada kasus CEPA, pendekatan bisnis pada sektor perdagangan makanan tidak bisa diterapkan di sektor infrastruktur. 

Untuk menyelamatkan bisnisnya, Gordon Wu pun menjual kepemilikan di CEPA kepada pihak lain. Southern Company, sebuah perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat akhirnya setuju membeli seluruh kepemilikan Hopewell di CEPA, tanpa proyek Tanjung Jati B. 

Oleh Wu, proyek Tanjung Jati B lalu dialihkan kepada Hopewell, induk usaha CEPA. Hopewell lalu membentuk perusahaan bernama PT HI Tubanan untuk mengurus proyek tersebut.

Disaat yang sama, Sumitomo Corporation selaku kontraktor yang ditunjuk untuk melakukan pembangunan telah menyelesaikan 70% pekerjaan dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Volatilitas Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika pada Periode Krisis Moneter

Pada September 1997, presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No 39 tahun 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian kembali Proyek Pemerintah, BUMN, dan Swasta yang Berkaitan dengan Pemerintah/BUMN

Tanjung jati B termasuk proyek yang pembangunannya diteruskan, mengingat konstruksi telah berlangsung.

Negosiasi Tanjung Jati B

Pada bulan Februari 1998, dimulailah negosiasi untuk menentukan masa depan proyek PLTU Tanjung Jati B.

Karena Sumitomo belum dibayar sepeserpun oleh pemilik proyek sebelumnya (CEPA), pekerjaan pun berhenti pada bulan Mei 1998. 

PT HI Tubanan selanjutnya menyatakan Force Majeure (keadaan kahar) pada September 1998 atas kondisi yang terjadi. 

Saat itu puncak krisis moneter sedang terjadi di Indonesia. Nilai tukar rupiah terjerembab lebih dari 500% dari posisi sebelumnya Rp 2.300 terhadap dolar Amerika, bank mengalami kesulitan likuiditas, kekacauan terjadi di mana-mana hingga presiden Soeharto terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya.

Perbankan adalah insitusi yang terkena pukulan paling telak dengan adanya krisis moneter. Mereka lantas menarik diri dari pendanaan proyek apapun, termasuk  proyek PLTU Tanjung Jati B. Subkontraktor pun tidak mau melanjutkan pekerjaan tanpa dibayar.

Sumitomo selanjutnya memposisikan diri sebagai "pemegang kendali" dalam proyek PLTU Tanjung Jati B. Mereka punya alasan untuk melanjutkan pekerjaan hingga selesai karena mereka perlu dibayar atas pekerjaan yang telah dilaksanakan. Meninggalkan proyek tidak selesai tanpa dibayar sama saja dengan merealisasikan kerugian yang kemudian akan dicatat pada laporan keuangan.

Menyadari kondisi saat itu, Sumitomo mengajukan proposal kepada pemerintah Indonesia melalui  PLN. Mereka akan mencari pinjaman bunga rendah dari Institusi Kredit Ekspor Jepang agar PLN dapat berkontrak dengan Sumitomo untuk menyelesaikan pembangunan PLTU Tanjung Jati B. 

PLN tertarik dengan proposal yang diajukan Sumitomo. Pada September 1999, PLN mengumumkan perjanjian awal untuk melakukan pinjaman senilai USD 1,5  milyar dengan bunga 1%, grace period 10 tahun, dan masa angsuran (repayment period) 40 tahun.

Sejumlah USD 1,5 juta dari nilai ini akan digunakan untuk membeli pembangkit yang rencananya akan selesai dibangun pada 2003.

Akan tetapi pihak Sumitomo dan pemerintah Jepang pada akhirnya menginginkan adanya jaminan pemerintah terhadap pinjaman yang diberikan kepada PLN, walau hal ini tidak tampak jelas di awal.

Dekade Baru, Rencana Baru

Pada 2001, negosiasi menghasilkan proposal baru yang akhirnya disetujui pemerintah Indonesia untuk melanjutkan proyek Tanjung Jati B melalui skema Build, Lease Transfer dalam kurun waktu 20 tahun. 

Ini adalah cikal bakal kontrak Sewa Guna Usaha (Finance Lease Agreement) PLTU Tanjung Jati B yang ditandatangani tahun 2003 dan dipakai hingga sekarang.

Biaya sewa dilaporkan sebesar 2,26 - 3,25 cent / kWh walau asal usul angka ini tidak prrnah dilaporkan ke publik. Sebagai bagian dari perjanjian, JBIC (Japan Bank for International Corporation) setuju untuk memberikan pinjaman senilai USD 1,65 milar.

Perjanjian ini menimbulkan pertanyaan, salah satunya terkait Peraturan Pemerintah tahun 1982 yang mengharuskan adanya counter trade untuk transaksi luar negeri senilai lebih dari USD 500 juta. Melalui aturan ini, pemerintah Jepang harus setuju untuk melakukan impor sejumlah produk Indonesia sebagai bagian dari perjanjian.

Masalah ini kiranya teratasi hingga kontrak Sewa Guna Usaha PLTU Tanjung akhirnya benar-benar ditandatangani pada 2003 di tengah krisis listrik yang melanda pulau Jawa. Pemerintah juga menyetujui jaminan sewa dalam bentuk pemberian fasilitas likuiditas kepada PLN. Sumitomo akhirnya mengakuisisi seluruh kepemilikan Hopewell atas PLTU Tanjung Jati B.

Melalui skema ini, Sumitomo akan membentuk anak usaha bernama PT Central Jawa Power (CJP) yang nantinya bertindak sebagai pemilik instalasi PLTU Tanjung Jati B.  Sumitomo juga akan melanjutkan pembangunan PLTU yang telah tertunda selama 5 tahun. Begitu pembangunan rampung, pembangkit akan disewakan kepada PLN oleh PT CJP. Sebagai konsekuensi dari kontrak Finance Lease, PLN memiliki hak opsi untuk membeli PLTU Tanjung Jati B di akhir masa perjanjian.

PLTU Tanjung Jati B beroperasi komersial pada 2006 dan menyuplai listrik bagi sistem Jawa Bali Madura.


Sumber:
Wells, L.T, Ahmed, R. 2007. Making Foreign Investment Safe: Property Rights and National Sovereignty. Oxford Press

Post a Comment