Suatu ketika seorang teman di kantor memberikan knowledge sharing mengenai analisis laporan keuangan. Pada saat sesi tanya jawab, aku lantas bertanya 

"Modal atau ekuitas perusahaan yang tercatat di laporan keuangan itu bentuknya apa sih? Lalu aku berseloroh lebih jauh, "modal yang disetor pemilik modal atau pemegang saham itu jadi apa?" 

Dan baru-baru ini, saat terlibat diskusi mengenai skema pendanaan IPP (Independent Power Producer) atau pengembang listrik swasta, pertanyaan yang sama terlintas dalam benak 

"modal awal yang disetor sponsor proyek untuk mendirikan special purpose company (SPC = Perusahaan proyek yang akan menjual listrik ke PLN) bentuknya apa sih? Jadi apa modal tersebut setelah disetor? Apa kaitannya setoran modal dengan kepemilikan saham di perusahaan proyek?"

Pertanyaan-pertanyaan di atas kiranya terjawab satu persatu, yang selanjutnya kutuangkan melalui serangkaian ilustrasi di bawah ini. Karena memahami lewat cerita itu menyenangkan. 

Gambar 1. Persamaan Neraca Keuangan


Kasus 1  - Pabrik Bakso

Tiga sekawan investor memutuskan untuk mendirikan pabrik bakso yang diperkirakan menelan biaya sebesar Rp. 4 milyar. Mereka sepakat mendirikan PT Bakso Enak untuk menjalankan pabrik dengan modal dasar Rp. 1 Milyar. 


Si A menyetor 400 juta, sementara B dan C masing-masing menyetor 300 juta. Modal 1 Milyar ini dicatat sebagai kepemilikan saham oleh A sebesar 40%, serta B dan C masing masing sebesar 30%, yang selanjutnya digunakan untuk membeli lahan dan membayar uang muka kepada kontraktor pembangunanan pabrik. 


Mereka mengajukan pinjaman ke Bank sebesar Rp. 3 Milyar dengan tenor 10 tahun untuk tambahan modal usaha pembangunan pabrik. Setelah Pabrik bakso beroperasi, bakso yang diproduksi kemudian dijual ke pasar dan supermarket. Pendapatan dari penjualan bakso digunakan untuk melunasi pinjaman dan membayar gaji karyawan. Sisa laba dari penjualan bakso (jika ada) masuk ke kantong investor. 


Estimasi awal memperkirakan bahwa investor akan balik modal dalam waktu 3 tahun. Artinya, uang setoran awal si A sebesar Rp. 400 juta serta si B dan C yang masing-masing sebesar Rp. 300 juta akan kembali dalam waktu 3 tahun. Itupun baru balik modal, belum menikmati keuntungan. Jangan lupa mereka juga masih harus membayar cicilan pinjaman selama 10 tahun. Siapa  bilang investasi bisa bikin cepat kaya. 

Analogi pengembang listrik swasta dengan pabrik bakso adalah sebagai berikut:

  1. Tiga sekawan investor adalah sponsor proyek,  berupa konsorsium yang terdiri dari beberapa perusahaan yang akan menyetor modal pendirian SPC.
  2. Pabrik bakso adalah pembangkit listrik yang akan dibangun.
  3. Modal awal sebesar Rp. 1 milyar menjadi ekuitas proyek, sementara pinjaman bank sebesar Rp. 3 milyar adalah pinjaman bank atau loan atau senior debt dalam hal pendanaan proyek IPP.
  4. Pabrik bakso dan pembangkit listrik adalah aset perusahaan yang akan menghasilkan pendapatan bagi keberlangsungan usaha perusahaan. Nama lain untuk pabrik bakso dan pembangkit listrik adalah revenue generating facility.
  5. Pembangunan Pabrik bakso dan pembangkit listrik sama-sama merupakan bentuk investasi yang menciptakan lapangan pekerjaan, menghasilkan pendapatan bagi perusahaan, dan dividen bagi pemegang saham.
  6. Dalam hal pendanaan proyek IPP, skema umum yang dikenal adalah project financing dimana pendapatan penjualan listrik dari proyek tersebut akan menjadi jaminan bagi bank untuk ikut serta mendanai proyek dalam bentuk pemberian pinjaman. Karena itu, bank sangat punya kepentingan agar pembangunan pembangkit listrik dapat diselesaikan dengan baik. Tidak hanya itu saja, pembangkit listrik harus dapat beroperasi dengan baik sehingga listrik yang dihasilkan dapat dijual ke PLN. Penjualan listrik ini menghasilkan pendapatan untuk melunasi pinjaman kepada bank.


Kasus 2 - Rumah Kosan

Sebuah rumah Kos mewah 20 kamar dengan lokasi yang sangat strategis (1 menit dari pintu tol, 5 menit dari mall, 5 menit dari stasiun KRL, 5 menit dari pusat perkantoran) dijual seharga Rp. 1 Milyar. Seorang calon pembeli yang tidak punya cukup uang ingin membeli rumah tersebut untuk selanjutnya disewakan kepada eksekutif muda yang perlu tempat tinggal sementara. 


Ia lantas mengajak 4 orang temannya untuk patungan membeli rumah tersebut. Si A menyetor 100 juta, B dan C masing-masing Rp. 75 juta, D dan E masing masing Rp. 25 juta. Modal yang terkumpul sebesar Rp. 300 juta digunakan untuk membayar DP (uang muka) rumah.


Selanjutnya, si A mengajukan KPR dengan plafon Rp. 700 juta dan tenor 15 tahun untuk membiayai  pembelian rumah. Modal awal yang mereka setorkan berubah menjadi bukti kepemilikan rumah berupa Sertifikat Hak Milik (SHM). Selama 15 tahun masa pinjaman, SHM ini disimpan oleh pihak Bank sebagai jaminan atas KPR yang diberikan.


Ketika cicilan KPR telah lunas, pemilik rumah tidak lagi memiliki hutang bank. Ekuitas si pemilik rumah bernilai sama dengan nilai rumah sebagai aset yang mereka miliki.  Aset = Ekuitas + Liabilitas


Kasus 3 - Rumah Pribadi

Penulis berniat membeli rumah seharga Rp. 300 juta. Saat itu pemilik memiliki tabungan sebesar Rp. 100 juta, dan masih belum cukup untuk membeli rumah secara tunai.


Penulis lalu memutuskan untuk membeli rumah dengan pembiayaan KPR. Uang muka (modal awal) sebesar Rp. 50 juta dibayarkan kepada developer, sementara sisanya sebesar Rp. 250 juta dibiayai oleh bank. 

"Kenapa rumahnya ga di DP 100 juta saja, kan bisa lebih ringan cicilannya nanti? Kenapa ga cari rumah yang lebih murah? Kenapa ga ngumpulin duit dulu terus nanti beli rumahnya kas" Pertanyaan-pertanyaan ini berada di luar lingkup tulisan ini, sehingga kita kesampingkan saja.

Setelah melakukan akad (perjanjian) kredit, pinjaman sebesar Rp. 250 juta dicairkan ke rekening penulis, untuk selanjutnya langsung dialihkan ke rekening developer. Bagi developer, rumah tersebut telah di bayar lunas oleh penulis, namun sebagai gantinya, penulis harus menyelesaikan kewajiban pelunasan pinjaman kepada bank.


Bukti kepemilikan atas rumah ditandai dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang masih dipegang oleh Bank. SHM baru bisa diterima oleh penulis setelah melunasi pinjaman KPR. Hal ini mirip seperti ketika membeli motor dengan skema kredit. BPKP disimpan lembaga kredit sebagai jaminan sampai dengan cicilan motor lunas.


Dapat kita lihat disini bahwa modal awal berupa uang kas yang disetor penulis berupa pembayaran ke developer untuk membeli rumah, berubah bentuk menjadi bukti kepemilikan rumah atau SHM. Hal yang kurang lebih sama berlaku bagi kepemilikan saham di perusahaan seperti pada kasus 1 di atas.  


Kasus 4 - Ekuitas Negatif Garuda Indonesia

Mari kita ingat-ingat lagi persamaan neraca keuangan berikut: Aset = Ekuitas + Liabilitas. 


Pada suatu waktu, PT Garuda Indonesia Tbk dengan kode saham GIAA memiliki ekuitas negatif. Hal ini terjadi ketika aset perusahaan bernilai lebih kecil dari total liabilitas atau kewajibannya. Perlu diketahui bahwa dalam bisnis penerbangan, tidak semua pesawat dimiliki sepenuhnya oleh maskapai. Sebagian armada masih dimiliki oleh lembaga leasing. Tidak mungkin sebuah maskapai dapat menjalankan bisnis jika harus membeli puluhan pesawat dengan dana dari kantong sendiri, bahkan untuk sekelas Garuda Indonesia sekalipun. 


Kondisi ekuitas negatif yang dialami GIAA terjadi ketika, aset perusahaan berupa gedung kantor, kas di bank, mobil operasional yang sepenuhnya dimiliki perusahaan, ternyata bernilai lebih kecil dibanding kewajiban perusahaan untuk melunasi cicilan pembelian pesawat, membayar sewa pesawat, membayar gaji pegawai, biaya katering, biaya bahan bakar dan kewajiban lainnya


Untuk dapat mempertahankan kegiatan operasionalnya, perusahaan mau tidak mau harus mengurangi gaji pegawai, mengembalikan pesawat sewaan, melakukan restrukturisasi hutang dan langkah efisiensi lain yang terpaksa harus diambil oleh manajemen perusahaan. Tugas utama manajemen adalah menyelamatkan perusahaan. Dalam kondisi sulit seperti ini, apabila langkah efisiensi masih belum mampu memperbaiki kemampuan finansial perusahaan, pemegang saham dapat mempertimbangkan untuk menyuntikkan modal tambahan kepada perusahaan. Modal tambahan ini dicatat sebagai tambahan porsi kepemilikan saham, yang selanjutkan akan digunakan sebagai modal kerja untuk membayar gaji pegawai, dan kewajiban lainnya yang perlu dibayar.


Sumber Gambar:

EXCELCAP_-4-Cs-of-Credit-4.jpg (820×410) (excelcapmanagement.com)

Post a Comment