Dalam hal apapun, risiko adalah jelmaan ketidakpastian yang berpotensi menimbulkan kerugian. Hal yang sama berlaku dalam bisnis.

Kejelian melihat potensi bisnis untuk kemudian mengeksekusinya, menjadi kunci sukses ITT di Indonesia, lewat anak usahanya yang bernama Indosat.

Indosat adalah perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA1) pertama di Indonesia yang bergerak di bidang telekomunikasi, sebelum kelak di-nasionalisasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1980-an, untuk kemudian dilepas ke Temasek Holding (BUMN Investasi Singapura) pada tahun 2004, dan kini dimiliki Ooredoo (sebelumnya bernama Qatar Telecom), perusahaan telekomunikasi yang berbasis di Qatar.


Kita mengenal Indosat sebagai operator selular dengan produk utama IM3, yang sempat digandrungi anak muda karena menawarkan paket internet murah meriah dengan kuota melimpah, dimana saat itu harga paket data masih tergolong mahal dan kecepatan jaringan 2G/3G yang belum begitu bisa diandalkan.

ITT (International Telephone and Telegraph) adalah perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat. Tak banyak dari kita yang familiar dengan nama ini. Memasuki usia kepala empat, perusahaan ini telah menjelma menjadi  konglomerasi multinasional yang menjajal beragam bidang usaha, salah satunya telekomunikasi. Lewat sebuah negosiasi di tempat asalnya, ITT berhasil mengamankan pasar di luar Amerika tanpa perlu bersaing dengan AT&T, yang mendapat porsi bisnis di rumah sendiri.

Berdirinya Indosat

Saat mendapat tawaran dari Dirjen Pos dan Telekomunimasi di era orde baru untuk membangun sarana telekomunikasi satelit di Indonesia, perwakilan ITT menyadari pentingnya jaringan telekomunikasi bagi negeri kepulauan Indonesia yang sedang menyiapkan pembangunannya. 

Melalui perjanjian tahun 1967, Indosat resmi berdiri di Indonesia, beserta hak untuk menjalankan monopoli jasa telekomunikasi internasional selama 20 tahun ke depan serta fasilitas bebas pajak.

Menurut struktur organisasinya, Indosat bernaung dibawah American Radio and Cable Corporation (ACR), anak usaha ITT yang menangani bisnis komunikasi.

Saat itu, Indonesia belum punya kapasitas yang cukup untuk menangani kontrak internasional secara komprehensif2.

Bahkan, perjanjian tersebut sepenuhnya dikonsep oleh pihak ITT. Selebihnya, mungkin hanya itikad baiklah yang dapat dijadikan dasar kedua belah pihak untuk mengikatkan diri.

Dua tahun sebelum berdirinya Indosat, Indonesia sudah memiliki perusahaan telekomunikasi nasional3 bernama PN Telekomunimasi (cikal bakal PT Telkom Indonesia, Tbk) yang pada tahun 1974, berganti nama menjadi Perumtel.

Indosat akan membangun sarana Ground Station yang berfungsi menerima gelombang radio dari satelit untuk sambungan telepon internasional.  Walau begitu, aset tersebut akan dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Indosat akan membayar sewa atas aset tersebut kepada pemerintah dan akan mengoperasikannya selama 20 tahun. Tarif minimum telepon internasional yang dipatok berkisar USD 3 s.d 4 per menit.

Lewat Perumtel, Indosat mendapat jasa penyambungan saluran telepon kepada pelanggan domestik sekaligus penarikan biaya berlangganan. Sebagai gantinya Indosat dikenakan tarif 15% untuk setiap panggilan masuk dan keluar yang dibayarkan kepada Perumtel.

Bisnis yang Menguntungkan

Memasuki tahun 1970 keadaan menjadi jauh lebih baik dibandingkan dekade awal pasca kemerdekaan. Betapa tidak, saat itu perekonomian nasional tumbuh dengan baik, Indonesia menyandang status sebagai negara eksportir minyak di tengah melambungnya harga minyak dunia pada masa-masa itu.

Hal ini menimbulkan gelombang nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia.

Indosat juga kecipratan momen baik tersebut. Pada periode 1969 - 1980 terjadi pertumbuhan trafik telepon internasional yang berdampak positif bagi pendapatan operasional Indosat hingga mampu tumbuh 30% per tahun. Tingkat pengembalian investasi (ROE) rata rata tahunan mencapai lebih dari 60%.

Sebuah Pemicu 

Pada suatu pertemuan tahun 1979 di Yogyakarta, Presiden Soeharto dan PM Malaysia bersepakat  untuk membangun jalur komunikasi bawah laut yang menghubungkan kota Medan dan kota penang di Semenanjung Malaya.

Indosat diminta untuk melakukan pembangunan tersebut namun menolaknya karena proyek tersebut dipandang tidak menguntungkan. Biaya investasi yang dikeluarkan tidak sebanding dengan proyeksi pendapatan yang bakal diraup. Hal ini menjadi titik balik bisnis Indosat (ITT) di Indonesia.

Presiden Soeharto yang kecewa dengan penolakan tersebut, lalu memerintahkan Dr. Sumarlin seorang ekonom yang menjabat Kepala Deputi Bidang Fiskal dan Moneter Bapenas saat itu untuk membereskan masalah.

Dr. Sumarlin membentuk tim yang terdiri dari, Dirjen Telekomunikasi, Menteri Keuangan serta konsultan dari Harvard Group dan Price Waterhouse untuk melakukan peninjauan dan amandemen atas kontrak Indosat yang ditandatangani tahun 1967 lalu.

Salah satu landasan untuk melakukan amandemen perjanjian tersebut adalah UUD 1945, yang menyatakan "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara". Bisnis telekomunikasi penting bagi negara dan diperlukan orang banyak, karena itu dapat dijadikan argumen untuk mengajak Indosat ke meja negosiasi.

Negosiasi Menuju Nasionalisasi Indosat

Tim Negosiator Indonesia mempersiapkan diri sebaik mungkin tanpa pernah membocorkan rencana nasionalisasi Indosat kepada pihak ITT.

Bulan Oktober 1980, Dr. Sumarlin mengundang pihak ITT untuk datang ke kantornya.

Mengawali rapat, Dr. Sumarlin tanpa basa basi mengatakan bahwa pemerintah Indonesia berniat menyelesaikan transaksi pembelian saham ITT di Indosat per tanggal 31 Desember 1980.

Keesokan harinya, rapat kembali dilanjutkan. Pihak ITT meminta harga pembelian senilai USD 93 juta berdasarkan "net present value of future earnings4" Indosat hingga tahun 1989 saat kontrak berakhir. Sementara itu, pemerintah Indonesia menawar di angka USD 30 juta, berdasarkan nilai buku perusahaan (adjusted net book value5).

Masing-masing pihak bertahan dengan penawarannya. Di tengah kebuntuan tersebut, pihak ITT meminta bantuan kepada pemerintahnya lewat Kedubes Amerika di Jakarta. Pihak kedubes meresponnya, tapi tidak  ingin melakukan intervensi, demi menjaga hubungan baik dengan Indonesia. Bagaimanapun juga, sebagai sebuah negara, Amarika punya kepentingan terhadap Indonesia di luar kesulitan yang sedang dihadapi ITT.

Tim negosiator Indonesia merasa pihak yang mereka ajak berdiskusi selama ini hanya melihat kepentingan bisnis Indosat semata. Karena itu, pemerintah mencoba mengeskalasi diskusi dengan memaparkan dampak tidak tercapainya kesepakatan Indosat terhadap bisnis lain ITT di Indonesia.

Akhirnya, top management ITT terbang ke Indonesia menyusul rekan-rekannya untuk membicarakan masalah tersebut hingga kedua belah pihak mencapai kata sepakat atas pembelian saham Indosat. Nilainya sekitar USD 43 juta.

Awal Januari 1981, proses akuisisi Indosat sepenuhnya selesai, dan ini menandai dimulainya babak baru industri telekomunikasi di Indonesia.


Sumber:
  1. Wells, L.T, Ahmed, R. 2007. Making Foreign Investment Safe: Property Rights and National Sovereignty. Oxford Press
  2. Tirto. Sejarah Indosat: Dibeli Soeharto dari ITT, Dijual Megawati ke STT

Penjelasan:
  1. Perusahaan yang dibentuk untuk menjalankan usaha lewat modal yang ditanamkan pihak asing di Indonesia
  2. Walau barisan ekonom pertama Republik di lingkaran Presiden Soeharto saat itu sudah bekerja dengan baik dalam merumuskan kebijakan ekonomi untuk menarik investasi asing ke Indonesia 
  3. Perumtel mengalami keterbatasan layanan karena karena terbatasnya dana, SDM dan Infrastruktur komunikasi
  4. Seluruh potensi pendapatan ke depan yang dihitung ke nilai sekarang. 
  5. Total aset (termasuk infrastruktur telekomunikasi) dikurangi depresiasi dan penyesuaian lain-lain 

Post a Comment